Jumat, 16 Juli 2010

Episode Dua Lusin chapter 2


Entah apa yang berkecamuk di dada ini. Deg-deg-an kah atau bentuk perasaan lain yang tak sanggup terdefinisikan. Mungkin bagi sebagian orang, aku akan dianggap terlalu berlebihan di usia ku yang 5 hari lagi sudah genap dua lusin. Tapi justru, aku merasa jauh berbeda dari sebelum-belumnya. Mendekati dua lusin, impian ku makin tinggi, anganku makin liar, cita-citaku makin tak terkendali. Dan lebih parahnya lagi, aku seakan sedang membangun negeri dalam impianku yang melibatkan banyak orang. Padahal, aku pun sadar impian kita sudah seharusnya diselaraskan agar bisa berjalan beriringan. Hingga akhirnya negeri itu tak hanya jadi mimpiku tapi mimpi kita. Kadang kupikir ini satu bentuk kekacauan, tapi di sisi lain aku menjadikan ini sebagai sisi positif untuk segera kurealisasikan.

Semakin bertambah usiaku, semakin banyak kemauanku. Kupikir wajar selama segalanya realistis dan ada keyakinan serta usaha keras untuk menggapainya yang disertai dengan niat yang lurus. Toh, aku juga manusia yang tak akan berhenti untuk memiliki keinginan. Dan yang aku sadari, hingga detik ini usia ku melekat, aku belajar banyak hal tentang keinginan yang sebagian terkabul, sebagian lagi ditunda, dan sebagian lagi digantikan dengan yang lebih baik. Hal itu terjadi, hingga sampailah aku disini setelah melalui perjalananku yang telah berlalu selama dua lusin tahun.

Aku masih ingat, tentang betapa susahnya mendapat izin untuk berkuliah saat lulus SMA dulu. Bukan tak boleh, hanya saja aku diharuskan untuk masuk perguruan tinggi negeri. Jika tidak, maka tak akan boleh kuliah sama sekali. Saat itu, hanya ketakutan luar biasa yang kurasakan. Terlebih lagi saat aku mencoba share jawaban selama SNMPTN ke salah satu bimbingan belajar tempatku meneguhkan informasi setelah di sekolah. Entah salah dengar atau memang menurut perhitungan di bimbel itu hingga nilaiku tak layak masuk ke perguruan tinggi yang di tuju. Alhasil, cuma air mata yang membasahi tempat tidurku untuk beberapa waktu lamanya. Dan masih teringat juga, saat pengumuman itu keluar di internet. Namaku termasuk dalam deretan calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi negeri. Ajaib. Dan kurasakan hangatnya pelukan bunda saat itu.

Aku juga ingat, saat pertama kali menginjakkan kaki di sana. Tak ada satu pun dari teman satu jurusan yang kukenal hingga akhirnya ketika akan mengambil undangan untuk orang tua tanpa sengaja aku bertabrakan dengan seorang gadis seusiaku yang ternyata satu jurusan. Dialah teman pertamaku. Hmmm.... Aku hanya bisa takjub jika mengenang semua yang pernah terjadi hingga detik ini.

Oia, bahkan aku pun ingat saat kelas 5 SD, aku pernah bertengkar dengan salah satu teman laki-laki sampai dia meludahi, menonjok, bahkan menendangku. Alhasil, tak bisa aku menahan tangis dan kabur dari sekolah untuk pulang ke rumah dan mengadu pada mama. Dan keesokan harinya, aku dan temanku dipanggil guru untuk saling bermaafan. Setelah kejadian itu, dia malah lebih baik padaku dan teman-teman yang lain. Padahal, sebelum-belumnya dia adalah orang yang ditakuti di sekolah. Lucunya masa itu.

Hmmm....
Masih saja kurenungi tentang begitu banyaknya episode yang telah kulalui hingga detik ini. Dan masih tak henti-hentinya aku mensyukuri hal itu. Aku sadar, aku jauh lebih beruntung dibanding teman-teman sebaya di rumah. Mereka, tak banyak yang merasakan manisnya pendidikan sepertiku. Hanya beberapa orang yang meneruskan hingga ke tingkat SMA. Setelah itu mereka menikah. Selebihnya, cukup sampai tingkat SMP bahkan SD. Mungkin karena mahalnya pendidikan kala itu yang masih belum menerapkan sistem pendidikan gratis sampai ke tingkat SMP. Dan aku pun seringkali terkejut mendengar pemberitaan tentang teman-teman sebayaku di rumah. Idul Fitri tahun lalu, ada seorang anak kecil datang ke rumahku untuk bersalaman dan sekedar meminta "salam tempel". Aku dan keluargaku bingung dan tak mengenali sama sekali. Hingga akhirnya ada seorang tetanggaku bercerita bahwa anak itu adalah anak temanku yang ternyata telah satu tahun dipenjara dengan suaminya karena terlibat kasus perdagangan narkoba. Dan naasnya aku baru tahu kabar itu. Sungguh, aku merasa egois sekali hingga saat ini yang kurang memperhatikan lingkungan di sekitarku. Lingkungan terdekatku, tetanggaku. Padahal, mereka adalah temanku sejak kecil. Ternyata, banyak sekali yang harus kuevaluasi hingga detik ini. Terlalu banyak bahkan dan mungkin tak habis untuk dihitung dalam waktu semalam.

Hmmm...
Aku pun kembali merenung. Aku hidup dan tinggal serta bersosialisasi di tempat tinggal yang mayoritas dari kalangan yang kurang mampu. Oh bukan, lebih tepatnya pandangan mereka yang jika hari ini bisa makan itu sudah cukup. Memang secara ekonomi, mereka ada yang kekurangan. Tapi kadang aku melihat, bukan kekuarangan secara finansial tapi kekurangan usaha bahkan informasi bahwa menjadi maju itu penting, menjadi baik itu penting, menjadi pribadi yang sholih dan mushlih itu penting, menjadi cerdas itu penting, menjadi tangguh itu penting, dan dekat dengan Tuhan teramat sangat penting. Tapi mereka tak punya itu, mereka tak tahu itu, ada yang tahu tapi seakan menutup mata dan merasa nyaman dengan lingkungannya yang entah sampai kapan. Mereka tidak sadar bahwa mereka tergilas. Terlalu banyak yang harus diberi tahu kepada mereka. Dan aku tak ingin mengeluhkan ketidaktahuan mereka terlalu banyak. Aku sadar, sudah seharusnya aku selaku yang tahu memberi tahu mereka yang tidak tahu.

Telah banyak rencana yang kusiapkan, ada yang segera kurealisasikan, ada juga yang kutunda. Semoga rencana itu dapat terlaksana. Karena aku ingin semakin bermanfaat bagi diriku, keluargaku, lingkunganku, hingga agamaku. Sahabat, kuharap kita bisa saling membantu untuk menegakkan panji islam di bumi yang tak lagi indah ini karena telah terwarnai oleh berbagai tipu daya yang bahkan manusia menikmatinya. Merasa nyaman dengan kondisi saat ini, padahal kita sedang ditindas. Aku ingin melawan semuai ini, aku ingin seperti namaku. Menjadi cahaya kebaikan di manapun aku berada yang senantiasa berbuat baik dan bermanfaat. Tidak saja ketika usiaku telah dua lusin, tapi hingga aku mengakhiri hidup ini.


...to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar