Kamis, 29 Juli 2010

Cinta Satu Muara


Pernikahan...
Mungkin karena menjelang ramadhan hingga banyak orang yang mengejar target menikah di bulan ini. Ada juga yang mengejar setelah ramadhan. Bahkan ada juga yang mengejar tanggal cantik agar mudah diingat. Contohnya saja tanggal 10 bulan 10 tahun 10. Yang jelas, setiap mereka memiliki pertimbangan masing-masing.

Pernikahan...
Undangan kian menggunung di kamar. Undangan dari sana, undangan dari sini, undangan dari situ, bahkan undangan dari sono. Bergulir terus satu per satu. Waktu ini memang cepat berlalu. Dulu, aku sering ikut orangtua kondangan kemana-mana. Sekarang, aku pergi sendiri atau bersama beberapa teman. Tak terasa, ternyata masa itu sudah harus dilewati.

Pernikahan...
Ada berbagai cara yang digunakan para sahabat untuk bisa melangkah ke tahap itu. Mulai dari langkah pacaran hingga mengikuti syariat. Dan pastinya, apa yang mereka lakukan berlandaskan cinta. Entah, memiliki muara yang sama atau tidak.

Pernikahan...
Teringat dengan sebuah pepatah jawa yang mengatakan bahwa cinta hadir karena telah terbiasa. Aku hanya bisa menjawab dengan kata, "Entahlah" (rasa-rasanya sudah terlalu banyak kata "entahlah" yang kukeluarkan dalam setiap tulisanku). Sebanrnya aku menyepakatinya meskipun tidak terlalu sepenuhnya. Karena toh, banyak sekali peristiwa yang bertolak belakang dengan kata pepatah itu. Karena terbiasanya, mereka mulai bosan, jenuh, penat hingga mencari pelarian. Bahkan ada yang memilih berpisah karena terbiasanya. Tak masuk akal kupikir. Tapi itulah realita yang kutemui bahkan kita semua jumpai di negeri yang sudah tak jelas lagi ini. Hingga akhirnya, aku menemukan kesimpulan. Mungkin mereka belum menemukan muara cinta sebenarnya.

Pernikahan...
Aku sepakat jika hal ini dilakukan berlandaskan cinta. Cinta pada muara yang tepat. Dalam hal ini bukanlah dalam konteks calon pasangan melainkan pada Sang Pemegang Otoritas, Sang Pemilik Hati. Jika muara cinta ini hanya satu, yaitu ALLAH, aku yakin cinta itu akan selalu segar dan tidak akan pernah membosankan. Karena cinta satu muara, hanya punya satu muara. Dan dari muara itu, cinta dengan sendirinya mengguyur deras pada setiap makhluk hidup di bumi ALLAH ini yang kemudian membasahi mereka dan memberikan inspirasi untuk turut memercikkan rasa itu ke makhluk ALLAH yang lain.

***

Cinta satu muara hanya punya satu muara. ALLAH.
Setiap kita akan melangkah, maka muaranya hanya satu.
Setiap kita terjerat masalah, maka peraduannya pun hanya satu.
Setiap kita tertimpa musibah, maka tempat pertolongannya pun hanya satu.
Setiap kita merasakan cinta, maka sudah semestinya muaranya pun hanya satu.
Hingga akhirnya, ketika kita siap menikah, maka muaranya pun hanya satu.
ALLAH.

Cinta satu muara, merupakan cinta yang produktif dan aktif.
Hanya tahu memberi dan memberi dan ingin yang diberi menjadi lebih baik.
Bukan dalam kondisi sebaliknya.

Cinta satu muara, cinta yang tak akan pernah lekang oleh waktu.
Muaranya hanya satu dan satu-satunya, sedangkan lain adalah bentuk dan realisasi dari cinta satu muara tersebut.
Jadi jangan heran, ketika ada keluarga yang bisa mempertahankan bahkan membuat kondisi keluarganya luar biasa maju dan hebat (konteks dunia dan akhirat). Karena muara cinta mereka memang hanya satu.

Cinta satu muara, cinta ini selektif karena hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang benar-benar ingin merasakannya. Usaha untuk mencapainya pun terbilang cukup berat. Justru itu yang menguji cinta. Apakah cinta itu berada pada muara yang tepat atau hanya sekedar cinta tanpa muara.

Cinta satu muara melibatkan ruh, jasad dan pikiran untuk menggapainya.
Cinta satu muara, hanya ALLAH muaranya.

Kamis, 22 Juli 2010

Episode Dua Lusin chapter 6


21 Juli 2008 pukul 07.30

Tadinya berencana untuk mengerjakan LPJ triwulan departemen dalam negeri BEM UNJ 2008 di rumah. Meskipun katanya hari itu ulang tahun, tapi tetap saja tanggung jawab adalah tanggung jawab dan harus 100 persen dilakukan. Tapi, baru saja aku memulai tiba-tiba sepupuku (saat itu masih tinggal di rumah dan semenjak nikah sudah pindah tinggal dengan suaminya) bilang, "Nurul, hari ini ulang tahun ya?". Aku hanya terbengong-bengong mendengar sepupuku karena bingung beliau tahu dari mana. "Banyak teman-temannya di luar dan kayanya bawa kue deh", lanjut sepupuku bilang. Otomatis, aku terkejut. Teman-temanku, pagi-pagi gini datang ke rumah padahal rumah mereka jauh-jauh banget dan pake bawa kue pula. Plus, aku dalam kondisi yang belum bersih-bersih. Hoalah, lengkap sudah mereka memberikan kejutan di hari itu.

Akhirnya, aku langsung ngibrit ke kamar untuk berganti pakaian dan menyambut mereka di rumah. Mereka tertawa sangat puas dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun saat kubuka pintu. Pake acara direkam dan foto-foto segala lagi. Bener-bener sukses deh ngerjain aku saat itu. Setelah itu, kue pun dipotong dan kami ngobrol ngalor ngidul sebelum berangkat lagi ke kampus. Dan ternyata, aku baru tahu kalau mereka kumpul dari jam 5 pagi di kampus. Terharunya ...

Dulu, rencana itu sebenarnya kami sempat susun untuk temanku yang berulang tahun di bulan Juni tapi tidak sempat direalisasikan. Dan tak disangka mereka menjalankan misi itu untukku. Seru.

Oia, sampai di rumah juga mereka tak henti-hentinya mengerjai aku dengan minta sarapan dan berbagai permintaan aneh lainnya. Yo wisslah, kuturuti saja. Tapi ada kejadian aneh. Ada salah seorang temanku yang izin ke toilet. Setelah lebih dari 10 menit kami kebingungan karena dia gak keluar-keluar juga. Ternyata, setelah lewat dari 15 menit dia keluar juga dan memelas sambil mengatakan "Nurul, WC-nya mampet ya???". Alhasil, aku yang sudah bercerita pada teman-teman saat dia di toilet pun tertawa ngakak dengan melihat tampangnya yang memelas. Kondisinya saat itu, WC di rumahku memang agak bermasalah. Kasihan, jadi obyek tertawaan. Setelah puas, kami pun turing ke kampus naik motor. Dan di kampus, masih saja mereka minta traktir tapi bukan sama aku. Sehari sebelumnya ada temanku yang juga ulang tahun, alhasil makan-makanlah kita. Itulah hobi kami semenjak di BEM, makan-makan dan wisata kuliner setelah maghrib.


***

21 Juli 2009

Hariku dihabiskan untuk berkencan dengan tumpukan buku dan skripsi kala itu. Karena keesokan harinya adalah jadwalku sidang. Panik, karena yang menguji adalah salah seorang profesor yang merupakan pencetus jurusanku ini ada di Indonesia. Pastinya, beliau akan sangat perfeksionis. Belum lagi, salah seorang pembimbingku adalah profesor juga yang terkenal melankolis banget dan sisi perfeksionisnya tidak ada yang bisa menandingi. Ditambah lagi, 3 dosen penguji lain (salah satunya pembimbingku) adalah dosen yang kompeten banget di bidangnya. Pokoknya, bayangan buruk waktu seminar hasil terus mengikutiku kala itu.

Seminar hasil tanggal 24 Juni 2009 adalah hasil presentasi terburukku selama kuliah dan seumur hidup. Tidak pernah aku mengalami kondisi se-blank itu. Sampai-sampai setiap omongan dan saran dosen tak kucerna baik di otakku. Alhasil, setelah seminar hasil aku terancam untuk tidak bisa ikut sidang dan lulus semester itu. Lengkap sudah. Aku bersama 2 orang lainnya memiliki nasib yang sama. Akhirnya kami berjuang, hingga diizinkan untuk seidang. Itupun H-5, kami masih harus revisi dalam jumlah yang tak sedikit. Sempurna. Karena itu, aku cukup panik menghadapi sidang.

Akhirnya, waktuku habis untuk belajar dan belajar serta mengoreksi bahan presentasi jika ada yang kurang sempurna. Praktek sana-sini karena presentasi hanya diberi waktu 10 menit. Lebih dari 250 halaman skripsi, ku-ludes habis. Mencoba menikmati dan membayangkan jasa orangtuaku yang sudah sangat berharap aku lulus. Terlebih. aku sudah janji untuk lulus semester itu (10 semester aku berkuliah) karena untuk 2 semester lainnya aku gunakan untuk organisasi. Orangtuaku kujadikan motivator untuk bisa tampil sebaik mungkin besok.

Dan sidang skripsi pun dimulai. Aku presentasi dengan waktu tersingkat, 8 menit saja. Tapi, karena aku adalah tipe orang dengan ritme bicara yang cukup cepat alhasil dosen pun mengomentari ritme bicaraku. Kumaklumi. Tapi, yang tak habis pikir, dari 1 jam waktu yang disediakan untuk masing-masing peserta sidang, aku menda[at kesempatan untuk mendapat waktu lebih dari 1 jam yang totalnya 1,5 jam. Dengan lancar, dosen mengeluarkan senjatanya. Dari mulai pertanyaan yang jumlahnya banyak banget sampai pernyataan yang tak diprediksi. Bahkan ada dosenku ada yang menanyakan tentang kaidah bahasa Indonesia dan sudahkah aku melihat di kamus bahasa indonesia. Hoalah, tangan kananku hanya bisa bermain-main dengan bangku di sebelah aku duduk di hadapan para dosen sambil menunggu mereka dalam waktu yang cukup lama. Mereka tak bisa melihat karena tertutup oleh meja. Sungguh, jumlah pertanyaanku jauh lebih banyak dari teman-teman yang lain. Sempurna.

Tapi, alhamdulillah sidang berjalan dengan lancar. Dan aku baru sadar bahwa memakai jilbab dalam kondisi terbalik. Yang ada motifnya kuletakkan di bagian dalam. Hmmm... hasil kepanikanku. Luar biasa hari itu. TAkhirnya, satu fase hidupku dilalui dengan baik meskipun tadinya sempat panik banget karena awalnya sidangku adalah tanggal 21 Juli 2009. Teman-temanku yang tahu tentang masalah skripsiku yang bermasalah sampai mengatakan "Gue jadi sakit perut Rul. Lengkap banget sih penderitaan loe. Pengujinya "luar biasa" dan di hari luar biasa dengan masalah yang "luar biasa". Aku hanya memperlihatkan wajah yang super memelas. Untungnya, jadwal berubah. Tapi tak mengurangi tingkat kecemasanku.

Setelah sidang, tak berarti masalah selesai saudara-saudara. Ternyata sidang yang lancar tak berarti urusan revisi pun lancar (di kampusku, setelah sidang ada proses revisi sebelum skripsi dikumpulkan). Aku harus berkutat dengan para dosen-dosen yang akhirnya menjadi masalah lain. Proses revisi kujalani dengan jauh lebih panik. Saat teman-temanku telah selesai mengumpulkan, aku dan 2 orang teman justru bermasalah. Ada kesalah pahaman dengan para dosen. Hingga akhirnya dalam satu hari, ketika teman-teman telah lengkap mengumpulkan tanda tangan dosen. Aku hanya bisa termangu dan mencoba menguatkan diri dengan 2 orang temanku untuk tetap survive. Hingga sampai malam hari, kami berangkat ke rumah salah seorang dosen dengan ditemani seorang kawan yang tau rumah beliau(setelah sampai depan rumah, lkawanku itu pulang) dan harus puas dimarahi. Kami hanya bisa diam (kami berdua dan sama-sama perempuan pula). Tanda tangan memang diperoleh, tapi hanya untuk lembar tanda tangan. Sementara lembar saran tidak ditandatangani. Dan itupun masih kurang tanda tangan dua dosen lagi.

Sampai di rumah, orangtuaku bingung melihat anak sulungnya ini. Karena aku hanya bisa diam seribu bahasa sambil memohon dalam hati agar dicukupkan cobaan ini. Jujur, saat itu aku sudah sangat capek dan merasa tak punya tenaga lagi untuk berjuang. Orang tuaku menanyakan berbagai macam pertanyaan yang tak kujawab satu pun. Sibuk dengan pikiran sendiri. Sampai di kamar, aku hanya bisa diam dan menangis. Beratnya hari itu.

Keesokan harinya, aku mencoba untuk bangkit kembali untuk mengejar tanda tangan dua dosen. Selalu diulur-ulur dengan berbagai alasan. temanku sudah menangis sejak kemarin bahkan lebih deras air matanya hari ini. Tapi aku mencoba menguatkan dia dan diriku sendiri. Bahwa ALLAh pasti memberikan ini semua karena kami sanggup untuk menjalaninya. Tapi, ternyata air mataku tumpah dan deras. Aku lari ke kamar mandi setelah aku tahu dosen belum mau tanda tangan. Menangislah aku di sana. Lalu aku kembali lagi ke kantor jurusan, seniorku mencoba menyemangati dan hanya bisa kuladeni dengan, "Kak, Nurul dah capek". Snagat memelas. Aku diminta kumpul di kelas bersama teman-teman yang lain yang telah selesai dengan urusan skripsinya. Sampai di kelas, aku memeluk salah seorang teman dan menangis. Pun dengan temanku satu lagi yang memiliki masalah yang sama. Akhirnya mereka mengerumuni kami dan menanyakan perihal skripsi. Tapi, alhamdulillah hari itu bisa kami lalui dengan baik dan bisa lulus di semester ini, meskipun salah seorang teman tak bisa diluluskan dengan alasan revisinya belum selesai meskipun sudah sidang. Dan beberapa hari setelah itu, kami bersenda gurau dan bergosip tentang skripsi masing-masing. Bagaimana gilanya menghadapi skripsi yang tak kunjung usai cobaannya hingga karakter kami saat stress menghadapinya. Ada salah seorang teman yang ketika stress malah pergi nonton bioskop sendirian dengan hatinya yang galau. Sementara aku, banyak makan coklat karena terpengaruh efeknya yang katanya sedikit mampu memberikan ketenangan. Setelah skripsi, Mayoritas dari kami mengalami penurunan berat badan, bahkan ada salah seorang teman yang selama tiga bulan tidak mengalami menstruasi karena stress. Sementara aku, termasuk dalam orang yang berat badannya malah naik 2 kg karena kebanyak makan coklat. Dahsyat. Kami juga bercerita tentang traumanya kami menjalani skripsi hingga sedikit trauma dengan kampus sendiri. Parah banget deh. Bahkan, sebagian temanku tak percaya jika aku semapat menangis waktu mengurus skripsi. Mereka sampai mengatakan, "Kalau Bia, kita sih percaya bisa namngis. Tapi, Nurul nangis???", [ertanyaan besar buatku. Yah... memang sih. Aku terkenal periang dan aktif plus tipe orang yang selalu semangat. Sebisa mungkin jika aku harus menangis, kuusahakan hanya saat aku sendiri dan berhadapan dengan ALLAH setelah shalat atau saat sujud. Jadi mereka jarang melihat aku dengan uraian air mata. Dan moment itu jadi salah satu moment yang tak bisa kulupakan. Dan di semester itu, adalah semester dengan lulusan terbanyak di jurusanku. Subhanallah. Dan baru semester itu pula, fakultas mengadakan acara inagurasi yang seru banget. Makanya foto-foto kelulusanku jumlahnya bejibun (hehehe).


***

21 Juli 2010

Dikerjain habis-habisan. Jam 16.05 aku mengajar privat matematika internasional kelas 6 SD di salah satu ruangan di tempat kerja (LCC Jatiwaringin). Belum satu bulan aku bekerja disana, tapi kami satu kantor sudah cukup dekat. Jam 17.30, aku kembali ke ruang kantor manajemen untuk melihat jam karena tidak membawa HP. Aku pun sempat mengeluarkan HP dari tas dan setelah itu kuletakkan di meja dan kembali ke ruangan. Jam 17.45, aku kembali lagi ke ruang kantor manajemen setelah mengantar muridku ke mobilnya. HP hilang, dan seragam yang sengaja kutaruh di laci pun hilang. Panik. Pastinya. Aku mencoba mengingat-ingat kembali tapi aku sendiri yakin dimana meletakkan kedua benda itu. Setelah mencari beberapa lama, tidak ketemu juga. Akhirnya aku pasrah dan mencoba mengikhlaskan. Tapi, tidak pakai menangis. Justru sebaliknya, aku mengalami salah affect. Tertawa dan senyum-senyum. Setelah itu kami bersiap untuk turun ke bawah dan pulang. Tapi ternyata, mereka menyiapkan sebuah kado untukku. Ternyata, itu adalah seragam kerja dan HP ku yang hilang. Curang. Mereka mengerjaiku habis-habisan. Padahal, 2 hari sebelumnya ada reka kerja yang ulang tahun juga tapi tak dikerjai seperti aku. Hwaaaa.... Bener-bener curang. Sepertinya, aku adalah orang pertama yang dikerjai hingga seperti itu. Sebelum mereka memberikan kado, aku pun telah menulis di status facebook perihal kehilangan HP. Tak disangka, segalanya hanya rekayasa.

Benar-benar hari yang aneh. Siangnya, aku naik bisa ke tempat kerja dan ternyata jadi sasaran anak sekolah yang sedang tawuran. Otomatis, satu bis panik sampai kami menutupi kepala dengan tas karena takut jadi sasaran tak bersalah akibat lemparan batu. Sungguh, hari yang aneh. Malam harinya, ada lagi kejadian aneh. Aku sengaja membeli martabak untuk keluarga sebanyak dua porsi. Kupikir abangnya mengerti dengan mengatakan dua dus yang artinya dua porsi. Tapi ternyata, dia memberikan aku satu porsi yang dibagi ke dalam dua dus. Hoalah, kenapa semua jadi pada aneh dan seakan mengerjaiku di hari kemarin ya... Dan ketika aku pulang, martabak langsung lahap dimakan oleh anggota keluarga. Mak Nyus...


***

3 tahun di tanggal 21 Juli dengan kejadian yang berbeda-beda dan sangat berkesan karena agak berbeda dari tiap tahunnya. Bersyukur, mereka yang sempat mengerjaiku malah akhirnya bisa mewarnai tulisan ini.

Dua lusin kini. Aku masih belum membuat target. Tapi aku tahu apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Semua telah terkeam pada otakku, meskipun belum kugoreskan lewat tulisan. Kuharap, doa yang kuterima kemarin dari setiap orang bisa terkabul dan menjadi terbaik dan mendapat ridho-NYA. Aku juga berharap, semoga usia ini kian bisa kumanfaatkan dengan baik karena tak akan ada yang tahu hari esok kan???!!!. Usia ini juga ku proyeksikan menjadi rancangan dari bagaimana aku akan menghadap Tuhanku nanti.

Allahu Rabbi...
Terima kasih untuk segalanya dan izinkan aku untuk terus mencintai-MU selamanya hingga nanti di "dunia" setelah dunia.


***


TAMAT

Episode Dua Lusin chapter 5


Memang, sebenarnya hari lahir setiap tahunnya tak terlalu banyak berbeda dengan hari-hari biasanya. Yang berbeda adalah, di hari itu akan ada banyak doa yang dituai, banyak senyum yang disunggingkan, banyak permintaan yang harus diladeni (terutama permintaan traktir), dan banyak target yang harus dievaluasi dan diperbaiki dan bahkan mungkin dibikin target baru. Itulah, yang kualami hari ini.

Tengah malam, handphone tak henti-hentinya berbunyi. Dimulai dari tengah malam pukul 00.00 bahkan mungkin belum berhenti sampai bertemu malam kembali. Kubuka situs jejaring pertemanan sosial dan tampaklah deretan ucapan selamat serta doa dari para sahabat. Hal-hal lumrah yang biasa ditemui ketika kita menemui hari lahir setiap tahunnya. Kuharap, doa itu tak hanya muncul hari ini tapi juga dalam jangka waktu yang lama di keesokan harinya.

Dua lusin sudah hari ini, lengkap. Memang sih, mungkin bagi sebagian orang ketika menapaki usia ini terkesan biasa saja. Namun, bagiku setiap tahunnya di tanggal ini adalah moment mengingat sesuatu yang telah pergi. Tapi anehnya, justru di hari lahir banyak orang yang mengucapkan kata "selamat" padahal usia ini kian berkurang dan jatah kontraknya di dunia nyaris habis dan mungkin sudah di ujung tanduk. Satu keanehan yang tak pernah berubah dari zaman baheula sampai sekarang dan bahkan mungkin akan awet sampai nanti.

Bagiku juga, setiap tahunnya di tanggal ini merupakan teguran akan setiap langkah yang telah kulewati hingga sampai di sini. Teguran akan apa yang telah aku lakukan dan teguran akan pertanggungjawaban hingga usia ku mencapai titik dua lusin. Tak sekedar bertambahnya usia, karena pastinya khilaf dan dosa ini turt bertambah.

Allahu Rabbi...
Dua lusin ku menapaki jalan ini, namun masih saja aku belum mempu berlari dengan kecepatan tinggi. Dua lusin aku ada di dunia ini, tapi masih saja hobi untuk menuai dosa dan salah. Dua lusin waktu ini telah terlewati dan kuharap ampunan-MU hingga kini.

***

Teringat dengan kejadian kemarin, saat aku baru saja dari salah satu toko buku terbesar di Jakarta (kalo gak salah). Saat turun dari sebuah jembatan penyeberangan, ada seorang ibu menghampiriku dan bercerita tentang anaknya yang dirawat di rumah sakit tertua di Jakarta (bener kan??!!!). Penyempitan jantung. Sang ibu harus membeli infus yang harganya lebih dari 300 ribu untuk anaknya yang seharusnya kelas 7 SMP saat ini, tapi akhirnya harus terbaring di rumah sakit dan sekolah dasarnya pun tak diselesaikan. Akhirnya beliau minta tolong padaku untuk menambahi uangnya yang kurang. Air matanya jatuh tapi dia berusaha untuk kuat dan memintaku untuk turut berdoa bagi anaknya. Setelah dirasa uangnya cukup, beliau pun segera pergi ke rumah sakit karena takut terlambat.

Dari kejadian itu, aku jadi teringat dengan orang tuaku. Namanya orang tua, pasti rela melakukan apa pun demi anaknya bagaimanapun kondisinya. Mereka rela untuk banting tulang dan memberikan perhatian penuh untuk kemajuan dan perkembangan sang anak. Bahkan, papa ku beberapa hari lalu sempat cerita bahwa awalnya pada usia sekolah aku akan dimasukkan ke pesantren. Mamaku menolak. Dan aku merasa, karena beliau ingin merawat anak-anaknya dengan tangannya sendiri. Karena itu, setelah punya anak, mama berhenti dari pekerjaannya sebagai perawat. Adik-adikku pun diperlakukan serupa. Mama mulai bekerja kembali saat adikku yang bungsu sudah cukup besar. Alhasil, dengan usaha dan pengorbanan orang tua, jadilah kami anak-anak mereka saat ini. Kuharap, kami dapat mengukir senyum di bibir mereka. Selalu. Karena kami tak punya apa-apa untuk membalas segala jasanya yang begitu banyak dan begitu besar. Dan aku pun terpekur menatap usia ini dan menatap kembali setiap pengorbanan mereka hingga aku menjadi seperti saat ini.

Berbicara tentang dua lusin...
Masih banyak hutang yang harus kubayar pada orang tua untuk kebahagiaan mereka. Ku harap hutang itu segera bisa ku bayar dan lunas. Lunas??? Salah. Karena tak ada kata lunas untuk membayar hutang pada orang tua. setidaknya semua harus kubayar. Permintaan mereka harus bisa kuwujudkan jika itu memang baik. Allahu Rabbi... Bantu hamba yang tak berdaya ini...


to be continued

Episode Dua Lusin chapter 4


Besok...
Entah masihkah ada hari atau tidak
Entah masihkah ada kesempatan untuk memperbaiki diri
Entah masihkah bisa belajar lebih banyak
Entah masihkah bisa memberi lebih dari biasanya
Entah masihkah diberi waktu untuk menggapai asa

Besok...
Masih penuh dengan dosa kala usia yang semakin menua
Masih saja berbuat khilaf tatkala menyadari hal tersebut salah
Masih bersantai-santai ketika sadar waktu yang semakin meninggalkan
Masih tak menyadari akan segala khilaf yang dilakoni

Besok...
Usia makin meninggi semakin singkat
Usia pergi tanpa pamit
Usia memaksa diri untuk menyadari waktu yang sedikit
Usia yang masih dihiasi dengan kesia-siaan

Allahu Rabbi...
Sekian tahun ku hidup, sekian tahun pula kesalahan semakin menumpuk
Sekian lama ku di beri kesempatan, sekian tahun juga ku menyia-nyiakannya
Sekian waktu ku menempuh perjalanan, sekian tahun pula ku menelantarkannya

Allahu Rabbi...
Detik ini, ku semakin mengenang jasa mereka
Ibu yang pernah berdoa agar anaknya ini senantiasa memiliki kelebihan dibanding anak-anak yang lain
Ibu yang selalu mendampingi proses belajarku hingga kini berkesempatan untuk kuliah hingga tingkat S2
Ibu yang selalu membimbing agar diri ini semakin tegar menghadapi setiap masalah
Dan Ayah yang senin hingga minggu tak segan untuk bekerja
Ayah yang setiap harinya menasehatiku untuk menjadi manusia bermanfaat
Ayah yang memberikan tanggung jawab kepadaku untuk bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik
Mereka yang kucintai dan telah berkorban terlalu besar hingga kini
Dan sekian tahun ku hidup belumlah bisa dan tak akan pernah bisa membalas jasa mereka

Allahu Rabbi...
Allahu Rabbi...
Allahu Rabbi...


to be continued

Minggu, 18 Juli 2010

Episode Dua Lusin chapter 3


Duhai waktu, kenapa engkau berlari semakin cepat seakan berada dalam perlombaan maraton.
Tak bisakah kau menungguku sejenak karena aku baru mampu merangkak dan sedang belajar untuk berlari lebih cepat mengejarmu.
Tunggulah aku, meski untuk sejenak atau sepersekian detik.

Hanya tinggal 3 hari usiaku mencapai dua lusin dan pikiran ini selalu saja bertanya pada waktu yang terlalu cepat. Tapi, bukan berarti pikiran ini hanya fokus pada waktu melainkan juga pada banyak hal. Ya Rabbi... kenapa ini....???

Sejauh ini aku mengarungi kehidupan, tapi masih terasa bahwa diri ini masih merangkak untuk menggapai Rabb Pemilik Hati. Aku masih belum bisa berlari, masih terlalu pelan aku berjalan menuju-NYA. Hingga saat ini, aku makin gelisah dengan segala lamunan, segala kesalahan, dan segala impian untuk semakin mendekat dan mendekat. Ya Rabbi... Sungguh aku ingin berlari dengan tempo kecepatan tinggi ke arah -MU melebihi kecepatan siapapun di dunia ini. Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk benar-benar menggapai cinta-MU, tapi masih saja ku merasa terlalu sedikit yang telah dilakukan hingga detik ini. Makin resah...

Aku masih saja larut dalam segala lamunanku akan masa lalu. Ada yang ingin ku ubah, ada yang ingin kupertahankan. Dasar manusia, memang tak akan pernah puas. Tapi, aku sangat bersyukur akan skenario-NYA hingga detik ini. Hanya saja, sungguh aku merasa iri akan mereka yang memiliki prestasi di jalan Rabbani. Aku iri, mereka sudah bisa melangkah sangat jauh. Sementara aku masih di sini dan sekedar berangan-angan tentang kapan aku bisa sampai pada posisi itu.

Hmmm...
Semakin mendekati waktunya, jantung ini berpacu semakin cepat. Was-was bahkan tergopoh-gopoh untuk sekedar memikirkan berbagai impianku. Menghadapi realita dengan semangat yang ku punya dan dengan tersengal-sengal membangun impian menjadi kenyataan. Semakin hari, semakin banyak ku temukan orang-orang luar biasa mendekati-MU. Dan, aku iri. Mereka dengan usahanya yang maksimal, mampu berlari sejauh itu. Aku jadi semakin banyak belajar dengan rasa iri yang kupunya, tapi kadang kesabaran agak pelit untuk menghampiri diri ini. Bahkan kadang, rasa ini membangun imajinasiku dan membayangkan akan jalan hidup jika masa lalu tak seperti yang di alami. Namun, dalam hati ini jauh aku sadari ALLAH terlampau sayang padaku hingga memberikan skenario yang terbaik menurut-NYA.

Sekarang...
Kemungkinan yang menjadi bagian dari imajinasiku sudah tak mungkin terealisasi, namun bukan berarti aku berhenti untuk bermimpi. Aku masih menyisakan banyak ruang dalam pikiran ini, dalam hati, bahkan segenap kekuatan pada fisik ini untuk siap bertarung dengan realita demi menggapai impian yang telah kubangun. Aku siap bertarung dan menyisihkan waktu jauh lebih banyak dari sebelumnya untuk berjuang sepenuh hati. Dan aku pun siap dengan "ajtahidu fauqa mustawwal akhar"-berjuang di atas rata-rata orang lain-demi mimpi ku untuk selalu dekat dengan-MU.

Ya Rabbi...
Bantu aku...
Beri aku kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan untuk menjalaninya.
Jadikan ini jalan yang terbaik dan Kau ridhoi.
Dan berikanlah akhir yang indah dari perjuangan ini.
Ku mohon dengan segala keterbatasan dan kelemahanku.
Amin.

Jumat, 16 Juli 2010

Episode Dua Lusin chapter 2


Entah apa yang berkecamuk di dada ini. Deg-deg-an kah atau bentuk perasaan lain yang tak sanggup terdefinisikan. Mungkin bagi sebagian orang, aku akan dianggap terlalu berlebihan di usia ku yang 5 hari lagi sudah genap dua lusin. Tapi justru, aku merasa jauh berbeda dari sebelum-belumnya. Mendekati dua lusin, impian ku makin tinggi, anganku makin liar, cita-citaku makin tak terkendali. Dan lebih parahnya lagi, aku seakan sedang membangun negeri dalam impianku yang melibatkan banyak orang. Padahal, aku pun sadar impian kita sudah seharusnya diselaraskan agar bisa berjalan beriringan. Hingga akhirnya negeri itu tak hanya jadi mimpiku tapi mimpi kita. Kadang kupikir ini satu bentuk kekacauan, tapi di sisi lain aku menjadikan ini sebagai sisi positif untuk segera kurealisasikan.

Semakin bertambah usiaku, semakin banyak kemauanku. Kupikir wajar selama segalanya realistis dan ada keyakinan serta usaha keras untuk menggapainya yang disertai dengan niat yang lurus. Toh, aku juga manusia yang tak akan berhenti untuk memiliki keinginan. Dan yang aku sadari, hingga detik ini usia ku melekat, aku belajar banyak hal tentang keinginan yang sebagian terkabul, sebagian lagi ditunda, dan sebagian lagi digantikan dengan yang lebih baik. Hal itu terjadi, hingga sampailah aku disini setelah melalui perjalananku yang telah berlalu selama dua lusin tahun.

Aku masih ingat, tentang betapa susahnya mendapat izin untuk berkuliah saat lulus SMA dulu. Bukan tak boleh, hanya saja aku diharuskan untuk masuk perguruan tinggi negeri. Jika tidak, maka tak akan boleh kuliah sama sekali. Saat itu, hanya ketakutan luar biasa yang kurasakan. Terlebih lagi saat aku mencoba share jawaban selama SNMPTN ke salah satu bimbingan belajar tempatku meneguhkan informasi setelah di sekolah. Entah salah dengar atau memang menurut perhitungan di bimbel itu hingga nilaiku tak layak masuk ke perguruan tinggi yang di tuju. Alhasil, cuma air mata yang membasahi tempat tidurku untuk beberapa waktu lamanya. Dan masih teringat juga, saat pengumuman itu keluar di internet. Namaku termasuk dalam deretan calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi negeri. Ajaib. Dan kurasakan hangatnya pelukan bunda saat itu.

Aku juga ingat, saat pertama kali menginjakkan kaki di sana. Tak ada satu pun dari teman satu jurusan yang kukenal hingga akhirnya ketika akan mengambil undangan untuk orang tua tanpa sengaja aku bertabrakan dengan seorang gadis seusiaku yang ternyata satu jurusan. Dialah teman pertamaku. Hmmm.... Aku hanya bisa takjub jika mengenang semua yang pernah terjadi hingga detik ini.

Oia, bahkan aku pun ingat saat kelas 5 SD, aku pernah bertengkar dengan salah satu teman laki-laki sampai dia meludahi, menonjok, bahkan menendangku. Alhasil, tak bisa aku menahan tangis dan kabur dari sekolah untuk pulang ke rumah dan mengadu pada mama. Dan keesokan harinya, aku dan temanku dipanggil guru untuk saling bermaafan. Setelah kejadian itu, dia malah lebih baik padaku dan teman-teman yang lain. Padahal, sebelum-belumnya dia adalah orang yang ditakuti di sekolah. Lucunya masa itu.

Hmmm....
Masih saja kurenungi tentang begitu banyaknya episode yang telah kulalui hingga detik ini. Dan masih tak henti-hentinya aku mensyukuri hal itu. Aku sadar, aku jauh lebih beruntung dibanding teman-teman sebaya di rumah. Mereka, tak banyak yang merasakan manisnya pendidikan sepertiku. Hanya beberapa orang yang meneruskan hingga ke tingkat SMA. Setelah itu mereka menikah. Selebihnya, cukup sampai tingkat SMP bahkan SD. Mungkin karena mahalnya pendidikan kala itu yang masih belum menerapkan sistem pendidikan gratis sampai ke tingkat SMP. Dan aku pun seringkali terkejut mendengar pemberitaan tentang teman-teman sebayaku di rumah. Idul Fitri tahun lalu, ada seorang anak kecil datang ke rumahku untuk bersalaman dan sekedar meminta "salam tempel". Aku dan keluargaku bingung dan tak mengenali sama sekali. Hingga akhirnya ada seorang tetanggaku bercerita bahwa anak itu adalah anak temanku yang ternyata telah satu tahun dipenjara dengan suaminya karena terlibat kasus perdagangan narkoba. Dan naasnya aku baru tahu kabar itu. Sungguh, aku merasa egois sekali hingga saat ini yang kurang memperhatikan lingkungan di sekitarku. Lingkungan terdekatku, tetanggaku. Padahal, mereka adalah temanku sejak kecil. Ternyata, banyak sekali yang harus kuevaluasi hingga detik ini. Terlalu banyak bahkan dan mungkin tak habis untuk dihitung dalam waktu semalam.

Hmmm...
Aku pun kembali merenung. Aku hidup dan tinggal serta bersosialisasi di tempat tinggal yang mayoritas dari kalangan yang kurang mampu. Oh bukan, lebih tepatnya pandangan mereka yang jika hari ini bisa makan itu sudah cukup. Memang secara ekonomi, mereka ada yang kekurangan. Tapi kadang aku melihat, bukan kekuarangan secara finansial tapi kekurangan usaha bahkan informasi bahwa menjadi maju itu penting, menjadi baik itu penting, menjadi pribadi yang sholih dan mushlih itu penting, menjadi cerdas itu penting, menjadi tangguh itu penting, dan dekat dengan Tuhan teramat sangat penting. Tapi mereka tak punya itu, mereka tak tahu itu, ada yang tahu tapi seakan menutup mata dan merasa nyaman dengan lingkungannya yang entah sampai kapan. Mereka tidak sadar bahwa mereka tergilas. Terlalu banyak yang harus diberi tahu kepada mereka. Dan aku tak ingin mengeluhkan ketidaktahuan mereka terlalu banyak. Aku sadar, sudah seharusnya aku selaku yang tahu memberi tahu mereka yang tidak tahu.

Telah banyak rencana yang kusiapkan, ada yang segera kurealisasikan, ada juga yang kutunda. Semoga rencana itu dapat terlaksana. Karena aku ingin semakin bermanfaat bagi diriku, keluargaku, lingkunganku, hingga agamaku. Sahabat, kuharap kita bisa saling membantu untuk menegakkan panji islam di bumi yang tak lagi indah ini karena telah terwarnai oleh berbagai tipu daya yang bahkan manusia menikmatinya. Merasa nyaman dengan kondisi saat ini, padahal kita sedang ditindas. Aku ingin melawan semuai ini, aku ingin seperti namaku. Menjadi cahaya kebaikan di manapun aku berada yang senantiasa berbuat baik dan bermanfaat. Tidak saja ketika usiaku telah dua lusin, tapi hingga aku mengakhiri hidup ini.


...to be continued...

Rabu, 14 Juli 2010

Episode Dua Lusin


Entah sudah berapa banyak orang dan tempat yang pernah singgah dalam kehidupan ini. Masing-masing dari mereka memiliki peran tersendiri bahkan beberapanya dijadikan teladan yang mempengaruhi impian bahkan motivasi untuk menjadi lebih baik.

Hmmm...
Luar biasa pikirku...
Merasakan skenario ALLAH hingga detik ini yang sungguh tak pernah bisa kubayangkan sebelumnya. Ada saja cerita yang menurutku kurang logis bahkan untuk sekedar dikarang oleh manusia. Sungguh, aku punya ALLAH yang luar biasa MAHA.

Setiap kita punya cerita dengan alur dan latar yang berbeda-beda. Ceritaku tak berarti ceritamu. Namun, ada cerita yang mempertemukan cerita kita yang akhirnya memperkaya kisah. Dan aku berterima kasih karena ternyata cerita ini menjadi inspirasi dalam hidupku.
Kuharap begitupun denganmu, para sahabat.

Dua lusin, begitu istilah kakak kelasku. Dua lusin sudah usia ini kian menghampiri. Ibarat dua lusin telur yang berkumpul dalam satu wadah, jika ia tak dialas oleh benda seperti kertas yang cukup tebal untuk menahan bebannya, maka telur pun akan pecah atau mungkin minimal retak. Seperti itu juga usia ini, jika ku tak pandai mencari alas yang cukup tebal, dasar yang tak cukup kuat, dan jika iman ini justru goyah, maka retaklah bahkan pecahlah aku di usia ini. Tentu tak ingin aku menghadapi saat seperti itu.

Hmmm...
Beginilah aku yang rupanya telah cukup panjang mengarungi kehidupan ini. Meskipun belumlah sepanjang orangtuaku bahkan kakek-nenekku. Dan semakin bertambah usia ini, semakin bertambah pula kesadaran bahwa aku yang memilih untuk hidup tatkala ALLAH menawarkan itu sejak di rahim sang bunda. Aku telah memilih dan dipilih untuk menjadi salah satu yang mewarnai kehidupan di dunia ini. Pilihan itu menjadi kesempatan yang entah telah berapa banyak telah kulewati hingga akhirnya menjelma menjadi sebuah penyesalan yang berbuah pada pengandaian. Namun, segalanya tak mengurangi kesyukuranku pada-NYA. Toh, kesempatan yang terlewati itu memang sudah lewat tapi setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk belajar menghargai kesempatan yang lewat itu. Dan tak sekedar menghargai, tapi juga untuk tak mengulangi untuk kesekian kalinya.


...to be continued...